1/04/2020

Nasib Umat Manusia dan Alam Semesta Tidak Dapat Dipisahkan dari Kedaulatan Sang Pencipta

Otoritas Tuhan, Mengenal Tuhan, Sang Pencipta,

Engkau sekalian adalah orang dewasa. Beberapa darimu berusia paruh baya; sebagian lagi sudah memasuki usia senja. Mulai dari yang tidak percaya sampai yang percaya, mulai dari permulaan percaya kepada Tuhan sampai menerima firman Tuhan serta mengalami pekerjaan Tuhan, berapa banyakkah pengetahuan yang engkau sekalian miliki mengenai kedaulatan Tuhan?
Wawasan apakah yang engkau dapatkan mengenai nasib manusia? Bisakah seseorang mencapai segala hal yang ia inginkan dalam hidup? Berapa banyak hal dalam kurun waktu sekian puluh tahun keberadaanmu yang telah engkau capai sesuai kemauanmu? Berapa banyak hal yang tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan? Berapa banyak hal merupakan kejutan yang menyenangkan? Berapa banyak hal yang orang-orang masih tunggu untuk menghasilkan buah—tanpa sadar mereka menunggu saat yang tepat, menanti kehendak Surga? Berapa banyak hal yang membuat orang merasa tidak berdaya dan gagal? Setiap orang penuh dengan harapan akan nasib mereka, dan mengharapkan bahwa segalanya dalam hidup mereka akan berjalan sesuai harapan mereka, bahwa mereka tidak akan kekurangan makanan atau pakaian, bahwa kekayaan mereka akan bertambah hebat. Tidak seorang pun menginginkan kehidupan yang miskin dan tertindas, penuh dengan kesusahan, tertimpa malapetaka. Akan tetapi manusia tidak dapat meramalkan atau mengendalikan hal-hal ini. Mungkin bagi beberapa orang, masa lalu hanyalah sekelebat pengalaman; mereka tidak pernah belajar apa itu kehendak Surga, atau mereka bahkan tidak peduli akan hal tersebut. Mereka menjalani hidup mereka tanpa banyak berpikir, layaknya hewan, menjalani hari demi hari, tidak peduli tentang apa nasib umat manusia itu, tentang mengapa manusia bisa hidup atau bagaimana mereka semestinya hidup. Orang-orang ini mencapai usia lanjut tanpa mendapatkan sedikit pun pemahaman akan nasib manusia, dan sampai ajal mereka tiba mereka tidak mengetahui apa arti hidup. Orang-orang seperti ini sesungguhnya sudah mati; mereka adalah makhluk tanpa jiwa; mereka adalah binatang. Meskipun hidup di tengah segala macam hal, manusia mendapatkan kesenangan dari berbagai cara yang dunia berikan untuk memenuhi kebutuhan materiil mereka, walaupun mereka melihat bahwa dunia materiil ini terus-menerus berkembang, pengalaman mereka sendiri—apa yang dirasakan dan dialami hati dan jiwa mereka—tidak ada hubungannya dengan hal-hal materiil, dan tidak ada hal-hal materiil yang dapat menggantikannya. Ini merupakan sebuah pengakuan jauh di lubuk hati seseorang, sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Pengakuan ini terdapat dalam pemahaman dan perasaan seseorang akan kehidupan dan nasib manusia. Dan hal ini sering kali menuntun seseorang kepada pengertian bahwa seorang Penguasa yang tak terlihat sedang menata segala hal, mengatur semuanya bagi manusia. Di tengah-tengah semua ini, seseorang mau tak mau menerima penataan dan pengaturan nasib; pada saat yang sama, ia mau tak mau menerima jalan menuju masa depan yang telah dirancang baginya oleh Sang Pencipta, kedaulatan Sang Pencipta terhadap nasibnya. Inilah kenyataan yang tak terbantahkan. Tidak peduli bagaimana pemikiran dan sikap seseorang terhadap nasib, tidak seorang pun yang mampu mengubah fakta ini.
Kemana engkau akan pergi setiap harinya, apa yang akan engkau lakukan, siapa atau apa yang akan engkau temui, apa yang akan engkau katakan, apa yang akan terjadi kepadamu—dapatkah hal-hal tersebut diprediksi? Manusia tidak mampu meramalkan semua kejadian ini, apalagi mengendalikan terjadinya hal-hal tersebut. Dalam kehidupan, peristiwa-peristiwa yang tak terduga ini terjadi kapan saja, dan sudah merupakan bagian dari keseharian. Variasi-variasi ini yang terjadi setiap hari dan bagaimana hal ini tersingkap dan bagaimana terjadinya, atau pola-pola yang ditunjukkan, merupakan pengingat terus-menerus kepada umat manusia bahwa tidak ada hal yang terjadi secara acak, bahwa konsekuensi semua hal ini serta sifatnya yang tidak terhindarkan, semuanya tidak bisa diubah oleh kehendak manusia. Setiap peristiwa menyampaikan peringatan dari Sang Pencipta kepada umat manusia, dan juga mengirimkan pesan bahwa manusia tidak bisa mengendalikan nasib mereka sendiri; selain itu, setiap peristiwa merupakan bantahan terhadap ambisi dan hasrat manusia yang tak terkendali dan sia-sia untuk menentukan nasib di tangan mereka sendiri. Satu demi satu peristiwa-peristiwa tersebut bagaikan tamparan keras di telinga setiap orang, memaksa mereka untuk mempertimbangkan kembali siapakah yang pada akhirnya menguasai dan mengendalikan nasib mereka. Ketika ambisi dan hasrat mereka berulang kali gagal dan hancur, manusia secara wajar sampai pada penerimaan tanpa sadar akan apa yang telah digariskan nasib, yakni penerimaan kenyataan, penerimaan kehendak Surga dan kedaulatan Sang Pencipta. Dari perubahan-perubahan sehari-hari terhadap nasib seluruh kehidupan umat manusia, tak ada hal yang tidak menunjukkan rencana dan kedaulatan Sang Pencipta; tak ada hal yang tidak menyiratkan pesan bahwa “otoritas Sang Pencipta tak terlampaui,” yang tidak menyampaikan kebenaran kekal bahwa “otoritas Sang Pencipta adalah yang tertinggi.”
Nasib manusia dan alam semesta sangatlah erat terkait dengan kedaulatan Sang Pencipta, dan terikat erat dengan pengaturan Sang Pencipta; pada akhirnya, nasib manusia tidak bisa dipisahkan dari otoritas Sang Pencipta. Melalui hukum atas segala hal, manusia mulai memahami pengaturan Sang Pencipta dan kedaulatan-Nya; melalui aturan tentang kelangsungan hidup ia menjadi tahu akan pemerintahan Sang Pencipta; dari nasib atas segala hal ia mengambil kesimpulan mengenai cara-cara Sang Pencipta menerapkan kedaulatan dan kendali-Nya atas hal-hal tersebut; dan melalui siklus kehidupan manusia dan segala hal, manusia benar-benar mengalami pengaturan dan penataan Sang Pencipta terhadap segala hal dan segala makhluk dan benar-benar menyaksikan bagaimana pengaturan dan penataan tersebut melampaui segala hukum, aturan, dan institusi duniawi, segala kekuatan dan kekuasaan lain. Berdasarkan hal ini, umat manusia terdorong untuk mengakui bahwa kedaulatan Sang Pencipta tak dapat dilanggar oleh makhluk ciptaan mana pun, dan bahwa tidak ada kekuatan apa pun yang dapat mencampuri atau mengubah peristiwa dan hal-hal yang telah ditetapkan sejak semula oleh Sang Pencipta. Di bawah hukum dan aturan surgawi inilah, manusia dan segala hal lain hidup dan bertambah banyak, generasi demi generasi. Bukankah ini perwujudan sesungguhnya dari otoritas Sang Pencipta? Walaupun manusia melihat, dalam hukum objektif, kedaulatan dan ordinasi Sang Pencipta atas semua hal dan peristiwa, berapa banyak orangkah yang mampu memahami prinsip kedaulatan Sang Pencipta atas alam semesta? Berapa banyak orang yang bisa sungguh-sungguh mengenal, mengakui, menerima, dan tunduk kepada kedaulatan dan penataan Sang Pencipta atas nasib mereka sendiri? Siapakah, yang setelah memercayai fakta akan kedaulatan Tuhan atas segala hal, akan benar-benar memercayai dan mengenal bahwa Sang Pencipta juga mengatur nasib hidup manusia? Siapakah yang dapat benar-benar memahami kenyataan bahwa nasib manusia berada di tangan Sang Pencipta? Bagaimana sikap yang harus diambil oleh manusia terhadap kedaulatan Sang Pencipta, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa Ia menguasai dan mengendalikan nasib manusia, merupakan keputusan yang harus diambil sendiri oleh setiap manusia yang saat ini dihadapkan pada kenyataan tersebut.


Sumber Artikel dari "Belajar Alkitab"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan