Kesaksian Kristen - Kehidupan pernikahan Kristen: Pertengkaran dengan suami tentang hal-hal sepele, begini akhirnya(II)
Hong Kong, Jing Xin
Karena Pendapat Berbeda, Aku Dan Suamiku Berperang Dingin Lagi
Setelah percaya pada Tuhan, aku tidak keluar untuk bermain mahjong dengan teman-teman aku seperti dulu. Ketika ada waktu senggang, saya akan pergi mendaki bukit dengan saudari-saudari. Ketika saya melihat ada beberapa bunga yang indah di tengah jalan, aku akan memetiknya atau membeli beberapa tumbuhan untuk dibawa pulang. Tanpa disangka, suamiku mulai menghalangi aku dari menanam tumbuhan.
Suatu hari, aku kembali dari mendaki bukit, dan telah memetik beberapa tanaman dan membawanya pulang ke rumah. Ketika suamiku balik ke rumah dan melihat pot tanaman itu, dia mengatakan tidak cantik. Dia juga mengatakan bahwa tempat di rumah tidak besar, letakkan di sini hanya akan menghabiskan ruang, lalu dia menyuruh aku membuangnya, tetapi aku tidak mendengarkannya. Kemudian, pada hari-hari berikutnya, ketika dia melihat tanaman-tanaman ini, dia akan mengomeli tanpa henti, aku terbakar api amarah, aku berpikir: "Aku dulu bermain mahjong, kamu bilang kamu tidak suka, jadi aku sudah berhenti bermain. Sekarang aku ingin menanam dua pot tanaman, kamu juga tidak gembira. Apapun yang aku lakukan, kamu menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, mengapa kamu tidak tahu menghormati pilihanku?" Tiba-tiba, aku terpikir bahwa Tuhan menuntut kita untuk menghidupi kemanusiaan yang normal, aku percaya pada Tuhan sekarang, jadi aku tidak bisa sama dengan sebelumnya, selalu minta suamiku untuk memerhatikan aku, berdebat dengannya jika ada yang tidak sesuai dengan pemikiranku, aku harus belajar mengesampingkan diriku sendiri, harus memperlakukan suamiku dengan lebih sabar dan toleransi. Ketika memikirkan hal ini, lalu aku berkata kepadanya: "Coba kamu lihat, apakah tanaman ini tumbuh dengan baik? Menanam beberapa tanaman ini membuat rumah kita tampak lebih hidup, juga bagus untuk mata." Setelah dia mendengar apa yang aku katakan, dia merasa masuk akal, jadi dia tidak bersuara lagi.
Saya pikir semuanya akan baik-baik saja dan berakhir, siapa sangka suatu hari ketika aku pulang ke rumah dari kebaktian, dia beleter lagi tentang tanaman-tanaman tersebut. Aku tidak bisa menahan amarah lalu mengambil semua tanaman di rumah, termasuk tanaman yang aku beli dengan beberapa ratus dolar, semuanya dibuang ke dalam tong sampah, berkata dengan marah kepada suamiku: "Dari hari pertama aku menanam, kamu sudah tidak suka, apakah tanaman-tanaman ini mencegah kamu berjalan atau tidur, sekarang ruang di rumah telah menjadi besar, apakah kamu merasa puas dengan itu?" Setelah aku mengatakan itu, aku duduk di sofa dan merajuk.
Setelah beberapa hari, aku tidak berbicara dengannya sepatah kata pun, dia kadang bertanya sesuatu padaku, aku berpura-pura tidak mendengarnya, sengaja mengabaikannya, juga tidak memasak untuknya. Dia melihat aku memperlakukannya seperti orang yang transparan, setiap hari dia juga kelihatan tidak bersemangat. Kadang-kadang, untuk meredakan suasana tegang, dia sengaja mencari topik untuk mendekati aku, tetapi aku tidak menghiraukan dia sama sekali. Aku berperang dingin seperti ini dengannya. Tapi hati aku juga tidak nyaman, karena setiap kali pulang ke rumah, aku melihat rumah yang dingin, melihat suamiku yang tidak bersemangat. Beberapa kali aku ingin berbicara dengannya, tetapi aku tidak bisa melepaskan harga diriku, aku menelan kembali kata-kata yang sampai di ujung lidah, sehingga aku tidak dapat berfokus dalam pekerjaanku.
Suami Istri Berbagi Dari Hati Ke Hati, Bergaul Dengan Harmonis
Belakangan ketika saudari mengetahui hal-hal yang terjadi pada aku dan suamiku, dia mengirimi aku satu paragraf firman Tuhan: "Sebagai contoh, setelah hidup bersama selama beberapa tahun, seorang suami dan istri akan terbiasa satu sama lain, dan kadang-kadang terlibat dalam perkelahian. Tetapi jika engkau berdua memiliki kemanusiaan yang normal, engkau akan selalu mengutarakan kata-kata di dalam hatimu kepadanya, dan dia juga akan melakukan hal yang sama. Apa pun kesulitan yang engkau hadapi dalam hidup, masalah dalam pekerjaanmu, apa yang engkau pikirkan dalam hatimu, bagaimana engkau berencana untuk menyelesaikan masalah, ide dan rencana apa yang engkau miliki untuk anak-anakmu—engkau akan memberi tahu dia segalanya. Dalam hal itu, bukankah engkau berdua akan menjadi sangat dekat satu sama lain, dan terutama intim satu sama lain? Jika dia tidak pernah memberi tahu engkau kata-kata dalam hatinya, dan tidak melakukan apa pun selain membawa pulang gaji, dan jika engkau tidak pernah berbicara dengannya tentang kata-kata dalam hatimu sendiri dan tidak pernah menceritakannya, maka apakah tidak ada jarak antara kalian berdua di dalam hatimu? Pasti ada, karena engkau tidak memahami pikiran atau niat satu sama lain. Pada akhirnya, engkau tidak bisa memberi tahu orang seperti apa dia, atau dia tidak bisa mengatakan orang seperti apa engkau; engkau tidak memahami kebutuhannya, dia juga tidak memahami kebutuhanmu. Jika orang tidak memiliki komunikasi secara lisan atau rohani, tidak mungkin ada keintiman di antara mereka, dan mereka tidak dapat saling memberi atau membantu satu sama lain. Engkau semua pernah mengalami ini sebelumnya, bukan?"
Firman Tuhan seperti sebuah cahaya, menyinari hatiku, menunjukkan kepada aku jalan penerapan. Untuk mencapai pergaulan yang harmonis antara suami dan istri, haruslah belajar untuk banyak mengambil peduli dan mempertimbangkan satu sama lain, belajar untuk saling membuka hati ketika ada jurang di dalam hati, berkomunikasi banyak tentang pikiran masing-masing, sehingga dapat saling memahami dan curhat, ini akan menghilangkan jurang antara suami dan istri, mencapai keintiman yang sejati. Sebaliknya, jika mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain tepat pada waktunya untuk menyelesaikan masalah, kontradiksi akan semakin mendalam. Berpikir kembali suamiku dan aku selama bertahun-tahun ini, ketika suami melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiranku, aku selalu memendamkannya di dalam hatiku, dan jarang memberi tahu dia pendapatku. Ketika suami berbicara kepada aku, aku juga tidak pedulinya. Kadang-kadang, aku juga tahu bahwa perbuatanku ini tidak benar, aku harus membuka hatiku dan berkomunikasi dengan suami, tetapi aku tidak bisa mengesampingkan harga diriku, sehingga keadaan aku dan suamiku berubah menjadi perang dingin seiring dengan waktu, dan hubunganku dengan suamiku menjadi semakin kaku. Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa jika aku ingin memperbaiki hubunganku dengan suamiku, aku perlu melepaskan diriku, mengambil inisiatif untuk berbicara dari hati ke hati dengan suamiku. Dengan ini, aku bisa hidup rukun dengan suamiku.
Setelah memahami kehendak Tuhan, aku segera mengirim pesan kepada suami, dan berkata: "Tentang hal menanam tumbuhan-tumbuhan, aku tidak berdiskusi dengan kamu, aku yang bersalah dalam hal ini. Ke depan, jika kita ada apa-apa masalah, kita harus berkomunikasi bersama-sama, bertoleransi dan bertimbang rasa satu sama lain. Dengan ini, kontradiksi antara kita akan menjadi semakin kurang, dan kita dapat mengetahui isi hati satu sama lain." Setelah mengirim pesan kepada suamiku, aku datang ke depan Tuhan dan berdoa kepada Tuhan : "Ya Tuhan, mulutku bilang percaya kepada-Mu, tetapi ketika hal-hal terjadi, aku tidak bisa menahan kemarahanku, aku tidak ada sedikitpun kemanusiaan yang normal, apalagi memiliki keserupaan sebagai orang yang percaya kepada Tuhan. Ya Tuhan, aku bersedia bertobat dengan-Mu, semoga aku bisa bergaul dengan suamiku berdasarkan tuntutan-Mu di masa depan." Setelah berdoa, sebuah batu besar yang telah menekan hatiku selama ini sepertinya telah dihilangkan. Aku merasa sangat cerah di hatiku, ada sejenis kedamaian dan kegembiraan yang tidak bisa dikatakan. Ketika aku pergi bekerja keesokan harinya, kolega melihat aku tiba-tiba menjadi ceria, lalu bertanya kepada aku bagaimana aku berbaik dengan suami, aku hanya membalas mereka dengan senyuman, aku tahu bahwa semua ini adalah bimbingan Tuhan, firman Tuhanlah yang telah membuka ikatan dalam hatiku selama bertahun-tahun, puji syukur kepada Tuhan!
Sejak itu, aku sering berlatih untuk mengesampingkan diriku, mengambil inisiatif untuk berbicara dari hati ke hati dengan suamiku. Setiap malam pulang ke rumah dari kerja, kami akan mengambil inisiatif untuk mengobrol tentang hal-hal yang terjadi di tempat kerja kami pada siang hari. Saat menonton berita TV, kami juga akan mengutarakan pandangan masing-masing. Ketika suamiku mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiranku, aku tidak segera membantahnya. Setelah menenangkan diri, aku memberi tahu suamiku tentang pandanganku, belajar berkomunikasi dengannya. Ketika suamiku melihat perubahanku, dan senyuman di wajahku menjadi lebih banyak dari sebelumnya, dia juga menjadi ceria. Perlahan-lahan, aku juga mulai mencoba memahami pikiran suamiku, aku tahu bahwa dia suka mendaki gunung atau pergi menonton film ketika dia sedang berlibur. Sekarang ketika suamiku libur, aku akan coba meluangkan waktu untuk menemaninya. Suami juga mulai belajar prihatin terhadap aku. Dia akan bertanya keadaan dan kebutuhanku ketika badanku tidak sehat. Jarak antara aku dan suamiku mulai menjadi semakin dekat, dan keluarga juga menjadi semakin rukun. Puji syukur kepada Tuhan!
Tamat.
Sumber Artikel dari "Belajar Alkitab"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar