(Yohanes 6:8-13) Salah satu dari murid-murid-Nya, Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya: “Ada seorang anak kecil di sini, yang punya lima roti gandum dan dua ekor ikan kecil: tetapi apakah artinya itu dibanding dengan orang banyak ini?” Maka Yesus berkata: “Suruhlah mereka duduk.” Di sana ada banyak rumput hijau. Maka mereka duduk, jumlahnya sekitar lima ribu laki-laki. Lalu Yesus mengambil roti itu; dan setelah mengucap syukur, Dia menyerahkannya kepada murid-murid-Nya dan murid-murid itu membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk, dan begitu juga yang dilakukan-Nya Dia perbuat dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki. Ketika mereka sudah kenyang, Dia berkata kepada murid-murid-Nya: “Kumpulkanlah potongan-potongan sisanya, agar jangan sampai ada yang terbuang.” Karena itu mereka mengumpulkan semuanya dan memenuhi dua belas keranjang dengan sisa potongan dari lima roti gandum, yang tersisa setelah mereka makan.
(2) Kebangkitan Lazarus Memuliakan Tuhan
(Yohanes 11:43-44) Dan ketika Dia sudah berkata demikian, Dia berseru dengan suara keras: “Lazarus, keluarlah!” Maka orang yang sudah mati itu datang keluar, tangan dan kakinya masih terikat dengan kain kafan dan wajahnya tertutup dengan kain. Yesus berkata kepada mereka: “Lepaskan dia dan biarkan dia pergi.”
Di antara mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, kita telah memilih hanya dua ini karena keduanya berguna untuk menunjukkan apa yang hendak Aku bahas di sini. Kedua mukjizat ini sangatlah menakjubkan, dan keduanya merepresentasikan mukjizat-mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus pada Zaman Kasih Karunia.
Pertama-tama, mari kita melihat perikop pertama: Tuhan Yesus Memberi Makan Lima Ribu Orang
Konsep macam apakah “lima roti dan dua ikan” itu? Biasanya cukup untuk memberi makan berapa orangkah lima roti dan dua ikan itu? Apabila engkau semua mengukur berdasarkan nafsu makan kebanyakan orang, ini hanya akan cukup untuk dua orang. Inilah konsep paling mendasar dari lima roti dan dua ikan. Namun, dalam perikop ini tercatat ada berapa banyak orang yang diberi makan dengan lima roti dan dua ikan? Tercatat seperti ini dalam Kitab Suci: “Di sana ada banyak rumput hijau. Maka mereka duduk, jumlahnya sekitar lima ribu laki-laki.” Dibandingkan dengan lima roti dan dua ikan, apakah lima ribu angka yang besar? Apakah arti di balik besarnya angka ini? Dari sudut pandang manusia, membagi lima roti dan dua ikan untuk lima ribu orang adalah hal yang mustahil, karena perbedaannya terlalu jauh. Bahkan kalaupun setiap orang hanya diberi satu gigitan kecil, tetap tidak akan cukup bagi lima ribu orang. Tetapi di sini, Tuhan Yesus melakukan suatu mukjizat—Tidak saja Ia membuat lima ribu orang makan dengan kenyang, bahkan masih ada makanan tersisa. Tertulis dalam Kitab Suci: “Ketika mereka sudah kenyang, Dia berkata kepada murid-murid-Nya: ‘Kumpulkanlah potongan-potongan sisanya, agar jangan sampai ada yang terbuang.’ Karena itu mereka mengumpulkan semuanya dan memenuhi dua belas keranjang dengan sisa potongan dari lima roti gandum, yang tersisa setelah mereka makan.” Mukjizat ini memungkinkan orang-orang untuk melihat identitas dan status Tuhan Yesus, dan ini juga memungkinkan mereka untuk melihat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan—mereka melihat kebenaran mengenai kemahakuasaan Tuhan. Lima roti dan dua ikan cukup untuk memberi makan lima ribu orang, tetapi bagaimana seandainya tidak ada makanan sejak semula, masih dapatkah Tuhan memberi makan lima ribu orang ini? Tentu saja Ia bisa! Ini adalah mukjizat, sehingga tak terhindarkan orang-orang pun merasa bahwa ini adalah hal yang tidak dapat dipahami dan merasa ini sangatlah luar biasa dan misterius, tetapi bagi Tuhan, melakukan hal semacam ini adalah perkara kecil. Karena ini adalah hal yang biasa bagi Tuhan, mengapakah ini harus dikhususkan dalam penafsiran? Karena di balik mukjizat ini tersimpan kehendak Tuhan Yesus, yang tidak pernah ditemukan oleh umat manusia sebelumnya.
Pertama-tama, mari kita coba memahami orang-orang seperti apakah kelima ribu orang tersebut. Apakah mereka pengikut Tuhan Yesus? Dari Kitab Suci, kita tahu bahwa mereka bukanlah pengikut-Nya. Apakah mereka tahu siapa Tuhan Yesus? Tentu saja tidak! Setidaknya, mereka tidak tahu bahwa orang yang berdiri di hadapan mereka adalah Kristus, atau mungkin sebagian dari mereka hanya mengenal nama-Nya saja, dan mengetahui sesuatu atau pernah mendengar hal-hal yang pernah Ia perbuat. Mereka hanya penasaran akan Tuhan Yesus dari cerita-cerita, tetapi engkau semua tentunya tidak dapat mengatakan bahwa mereka mengikuti-Nya, apalagi memahami-Nya. Ketika Tuhan Yesus melihat lima ribu orang ini, mereka sedang lapar dan hanya bisa memikirkan tentang makan sampai kenyang, jadi dalam konteks ini Tuhan Yesus memuaskan keinginan mereka. Ketika Ia memuaskan keinginan mereka, apakah yang ada di dalam hati-Nya? Bagaimanakah sikap-Nya terhadap orang-orang ini yang hanya ingin makan sampai kenyang? Pada saat ini, pikiran Tuhan Yesus dan sikap-Nya ada kaitannya dengan watak dan esensi Tuhan. Menghadapi lima ribu orang dengan perut kosong yang hanya ingin makan sampai kenyang, menghadapi orang-orang yang penuh rasa ingin tahu dan harapan akan Dia, Tuhan Yesus hanya memikirkan bagaimana memanfaatkan mukjizat ini untuk melimpahkan kasih karunia kepada mereka. Akan tetapi, Ia tidak berharap banyak bahwa mereka akan menjadi pengikut-Nya, karena Ia tahu bahwa mereka hanya ingin turut dalam kesenangan dan makan sampai kenyang, jadi Ia melakukan yang terbaik yang bisa Ia lakukan dengan apa yang Ia miliki, dan menggunakan lima roti dan dua ikan untuk memberi makan lima ribu orang. Ia membuka mata orang-orang ini yang menikmati hiburan, yang ingin menyaksikan mukjizat, dan mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri hal-hal yang bisa diselesaikan oleh Tuhan yang berinkarnasi. Meskipun Tuhan Yesus menggunakan sesuatu yang kasatmata untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka, Ia sudah tahu dalam hati-Nya bahwa lima ribu orang ini hanya ingin makan kenyang, sehingga Ia tidak mengatakan apa pun kepada mereka juga tidak berkhotbah sama sekali kepada mereka—Ia hanya membiarkan mereka menyaksikan mukjizat ini. Ia sama sekali tidak bisa memperlakukan orang-orang ini dengan cara yang sama seperti Ia memperlakukan murid-murid-Nya yang sungguh-sungguh mengikuti-Nya, tetapi dalam hati Tuhan, semua makhluk berada di bawah kekuasaan-Nya, dan Ia akan membiarkan segala makhluk yang ada di hadapan-Nya untuk menikmati kasih karunia Tuhan jika memang perlu. Meskipun orang-orang ini tidak mengenal siapa Dia, tidak memahami-Nya, tidak punya kesan tertentu akan Dia, atau tidak menunjukkan rasa terima kasih kepada-Nya bahkan setelah mereka makan roti dan ikan tersebut, Tuhan tidak mempermasalahkan ini—Ia memberi kepada orang-orang ini kesempatan yang luar biasa untuk menikmati kasih karunia Tuhan. Sebagian orang mengatakan bahwa Tuhan bertindak berdasarkan prinsip yang kaku, dan bahwa Ia tidak menjaga atau melindungi orang-orang tidak percaya, dan bahwa Ia secara khusus tidak membiarkan orang-orang demikian menikmati kasih karunia-Nya. Benarkah begitu? Di mata Tuhan, selama mereka adalah makhluk hidup yang diciptakan oleh-Nya sendiri, Ia akan mengelola dan merawat mereka; Ia akan memperlakukan mereka, merancang bagi mereka, dan mengatur mereka dengan berbagai cara. Inilah pikiran-pikiran dan sikap Tuhan terhadap segala hal.
Meskipun lima ribu orang yang makan roti dan ikan tidak berencana mengikuti Tuhan Yesus, Ia tidak bertindak keras terhadap mereka. Setelah mereka makan sampai kenyang, tahukah engkau semua apa yang dilakukan Tuhan Yesus? Apakah Ia mengkhotbahkan sesuatu kepada mereka? Ke manakah Ia pergi setelah melakukan ini? Kitab Suci tidak mencatat bahwa Tuhan Yesus mengatakan apa pun kepada mereka; setelah Ia menyelesaikan mukjizat-Nya Ia diam-diam pergi. Jadi apakah Ia memberikan persyaratan kepada orang-orang ini? Apakah ada kebencian? Tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut—Ia hanya tidak ingin lagi memikirkan orang-orang ini yang tidak dapat mengikuti-Nya, dan pada saat itu hati-Nya sakit. Karena Ia telah melihat kemiskinan umat manusia dan Ia telah merasakan penolakan umat manusia terhadap-Nya, dan ketika Ia melihat orang-orang ini atau saat Ia bersama mereka, kebodohan dan kebebalan manusia membuat-Nya merasa sangat sedih dan hati-Nya pedih, karenanya Ia hanya ingin pergi meninggalkan orang-orang ini sesegera mungkin. Tuhan tidak ingin memiliki persyaratan apa pun mengenai mereka di dalam hati-Nya, Ia tidak ingin memikirkan mereka, secara khusus Ia tidak ingin membuang tenaga-Nya untuk mereka, dan Ia tahu mereka tidak bisa mengikuti-Nya—terlepas dari semua ini, sikap-Nya terhadap mereka tetap sangat jelas. Ia hanya ingin memperlakukan mereka dengan baik, memberi mereka kasih karunia—inilah sikap Tuhan terhadap setiap makhluk di bawah kekuasaan-Nya: terhadap setiap makhluk, memperlakukan mereka dengan murah hati, menyediakan kebutuhan mereka, memelihara mereka. Karena alasan inilah yaitu bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang berinkarnasi, maka Dia secara sangat wajar mengungkapkan esensi Tuhan itu sendiri dan memperlakukan orang-orang ini dengan baik. Ia memperlakukan mereka dengan baik dengan hati penuh belas kasihan dan toleransi. Tidak peduli bagaimana orang-orang ini memandang Tuhan Yesus, dan tidak peduli bagaimana hasil akhirnya, Ia hanya memperlakukan setiap makhluk berdasarkan posisi-Nya sebagai Tuhan atas segala ciptaan. Yang diungkapkan-Nya, tanpa terkecuali, adalah watak Tuhan, apa yang Ia miliki dan siapa Ia. Jadi Tuhan Yesus dengan tenang melakukan sesuatu, kemudian dengan tenang juga Ia pergi—aspek watak Tuhan yang manakah ini? Dapatkah engkau semua mengatakan bahwa ini adalah kasih setia Tuhan? Dapatkah engkau semua mengatakan ini sebagai sifat tanpa pamrih? Mampukah orang biasa melakukan hal ini? Tentu tidak! Pada hakikatnya, siapakah lima ribu orang ini yang diberi makan oleh Tuhan Yesus dengan lima roti dan dua ikan? Dapatkah engkau semua mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkesesuaian dengan-Nya? Dapatkah engkau semua mengatakan bahwa mereka semua memusuhi Tuhan? Dapat dikatakan dengan pasti bahwa mereka sama sekali tidak berkesesuaian dengan Tuhan, dan esensi mereka benar-benar memusuhi Tuhan. Tetapi bagaimanakah Tuhan memperlakukan mereka? Ia menggunakan suatu cara untuk menjinakkan permusuhan mereka terhadap Tuhan—cara ini disebut dengan “kebaikan.” Dengan kata lain, meskipun Tuhan Yesus memandang mereka sebagai orang-orang berdosa, di mata Tuhan tetap saja mereka adalah ciptaan-Nya, sehingga Ia tetap memperlakukan orang-orang berdosa ini dengan penuh kemurahan hati. Ini adalah toleransi Tuhan, dan toleransi ini ditentukan oleh identitas dan esensi Tuhan sendiri. Jadi, ini adalah hal yang tidak bisa dilakukan oleh manusia yang diciptakan oleh Tuhan—hanya Tuhan sendiri yang dapat melakukan ini.
Ketika engkau dapat sungguh-sungguh menghargai pikiran dan sikap Tuhan terhadap umat manusia, ketika engkau dapat sungguh-sungguh memahami emosi dan kepedulian Tuhan terhadap setiap makhluk, engkau akan dapat memahami kesetiaan dan kasih yang dicurahkan kepada masing-masing orang yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Ketika ini terjadi, engkau akan menggunakan dua kata untuk menggambarkan kasih Tuhan—apa sajakah dua kata itu? Ada yang bilang “tanpa pamrih,” ada lagi yang bilang “dermawan.” Dari kedua kata ini, “dermawan” adalah yang paling tidak cocok untuk menggambarkan kasih Tuhan. Ini adalah kata yang digunakan orang untuk menggambarkan pemikiran dan perasaan terbuka seseorang. Aku benar-benar membenci kata ini, karena kata ini mengacu pada pemberian sumbangan secara acak, secara sembarangan, terlepas dari segala macam prinsip. Ini adalah ungkapan terlalu emosional orang-orang yang bodoh dan bingung. Ketika kata ini digunakan untuk menggambarkan kasih Tuhan, sudah pasti ada maksud menghujat di dalamnya. Aku punya dua kata yang lebih sesuai untuk menggambarkan kasih Tuhan—apakah dua kata tersebut? Yang pertama adalah “megah.” Bukankah kata ini sangat menggugah? Yang kedua adalah “raya.” Ada arti nyata di balik kedua kata ini yang Aku pakai untuk menggambarkan kasih Tuhan. Secara harafiah, “megah” menggambarkan volume atau kapasitas suatu hal, tetapi tidak peduli seberapa pun besarnya hal tersebut—itu adalah sesuatu yang bisa disentuh dan dilihat orang. Ini karena hal tersebut benar-benar ada, bukan sebuah objek yang abstrak, dan kata itu juga memberikan pemahaman yang relatif tepat dan nyata. Tidak peduli apakah engkau mengamatinya dari sudut datar atau tiga dimensi; engkau tidak perlu membayangkan keberadaannya, karena itu adalah hal yang sungguh-sungguh ada. Meskipun menggunakan kata “megah” untuk menggambarkan Tuhan terasa seperti mengukur kasih-Nya, akan tetapi itu juga memberikan perasaan bahwa kasih-Nya tidak dapat diukur. Aku mengatakan bahwa kasih Tuhan dapat diukur karena kasih-Nya bukanlah bersifat non-entitas, dan juga bukan sesuatu yang berangkat dari suatu legenda. Malahan, itu merupakan sesuatu yang dimiliki segala hal di bawah kuasa Tuhan, dan itu adalah sesuatu yang dinikmati semua makhluk dalam derajat yang berbeda dan dari sudut pandang berbeda. Meskipun orang-orang tidak dapat melihat atau menyentuhnya, kasih ini membawa pemeliharaan dan kehidupan bagi segala hal dan terungkap sedikit demi sedikit dalam kehidupan mereka, dan mereka menghitung dan bersaksi atas kasih Tuhan yang mereka nikmati setiap waktunya. Aku mengatakan bahwa kasih Tuhan tidak bisa diukur karena rahasia pembekalan dan pemeliharaan Tuhan atas segala hal adalah sesuatu yang sulit untuk dimengerti manusia, begitu juga pikiran-pikiran Tuhan untuk segala hal, terlebih untuk umat manusia. Dengan kata lain, tidak seorang pun tahu darah dan air mata yang ditumpahkan Sang Pencipta bagi umat manusia. Tidak ada yang bisa memahami, tidak ada yang bisa mengerti kedalaman atau bobot kasih Sang Pencipta atas umat manusia, yang diciptakan oleh tangan-Nya sendiri. Menggambarkan kasih Tuhan dengan kata megah adalah demi membantu orang untuk menghargai dan memahami ukuran dan kebenaran dari keberadaannya. Juga agar supaya orang dapat lebih dalam memahami arti sesungguhnya dari kata “Pencipta,” dan agar supaya orang dapat memperoleh pengertian yang lebih dalam akan arti sebutan “ciptaan.” Apakah yang biasanya digambarkan oleh kata “raya”? Biasanya kata itu digunakan untuk menggambarkan samudra atau semesta, seperti semesta raya, atau samudra raya. Luas dan kedalaman yang tenang dari alam semesta melampaui pemahaman manusia, dan merupakan sesuatu yang menarik imajinasi manusia, membuat mereka dipenuhi kekaguman akan semua itu. Misteri dan kedalamannya terlihat namun tak terjangkau. Ketika engkau memikirkan samudra, engkau memikirkan luasnya—terlihat tidak ada batasnya, dan engkau dapat merasakan misteri dan keinklusifannya. Inilah mengapa Aku menggunakan kata “raya” untuk menggambarkan kasih Tuhan. Ini demi membantu orang-orang merasakan betapa berharganya kasih Tuhan itu, dan merasakan keindahan yang mendalam dari kasih-Nya, dan bahwa kekuatan kasih Tuhan itu tidak terbatas dan luas. Ini demi membantu mereka merasakan kekudusan dari kasih-Nya, dan martabat serta sifat Tuhan yang tak terbantahkan yang diungkapkan melalui kasih-Nya. Sekarang apakah menurutmu “raya” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kasih Tuhan? Apakah kasih Tuhan sesuai dengan dua kata, “megah” dan “raya” ini? Tentu saja! Dalam bahasa manusia, hanya dua kata ini yang secara relatif cocok, dan secara relatif sesuai untuk menggambarkan kasih Tuhan. Tidakkah engkau semua berpikir demikian? Seandainya Aku meminta engkau semua menggambarkan kasih Tuhan, akankah engkau semua menggunakan dua kata ini? Kemungkinan besar engkau semua tidak bisa, karena pemahaman dan penghargaanmu akan kasih Tuhan masih terbatas pada sudut pandang yang rata, dan belum naik mencapai ketinggian ruang tiga dimensi. Jadi seandainya Aku memintamu menggambarkan kasih Tuhan, engkau semua akan merasa bahwa engkau tidak punya kata-kata yang tepat; bahkan engkau semua tidak akan bisa berkata-kata. Dua kata yang telah Aku bahas hari ini mungkin sulit untuk engkau semua pahami, atau mungkin engkau semua sama sekali tidak setuju. Ini hanya menunjukkan fakta bahwa penghargaan dan pemahamanmu akan kasih Tuhan masihlah dangkal dan berada dalam cakupan yang sempit. Aku telah mengatakan sebelumnya bahwa Tuhan tidak mementingkan diri sendiri—engkau semua ingat kata tanpa pamrih. Dapatkah dikatakan bahwa kasih Tuhan hanya dapat digambarkan sebagai tanpa pamrih? Bukankan ini cakupan yang terlalu sempit? Engkau semua mesti lebih banyak merenungkan masalah ini agar mendapatkan sesuatu dari sini.
Di atas memuat apa yang telah kita pahami mengenai watak Tuhan dan esensi-Nya berdasarkan mukjizat pertama. Meskipun ini adalah kisah yang telah dibaca orang-orang selama beribu-ribu tahun, kisah ini menyajikan alur sederhana, dan memungkinkan orang-orang untuk melihat fenomena yang sederhana, namun di dalam alur yang sederhana ini kita dapat melihat sesuatu yang lebih berharga, yakni watak Tuhan dan apa yang Ia miliki dan siapa Ia. Apa yang Ia miliki dan siapa Ia merepresentasikan Tuhan itu sendiri, dan merupakan ungkapan pikiran Tuhan sendiri. Ketika Tuhan mengungkapkan pikiran-Nya, ini merupakan ungkapan suara hati-Nya. Ia berharap bahwa akan ada orang-orang yang mampu mengerti diri-Nya, mengenal-Nya, dan memahami kehendak-Nya, dan Ia berharap akan ada orang-orang yang mendengar suara hati-Nya dan dapat bekerjasama secara aktif untuk memuaskan kehendak-Nya. Dan hal-hal ini yang dilakukan oleh Tuhan Yesus merupakan ungkapan tanpa suara dari Tuhan.
Apakah kesan engkau semua setelah membaca perikop ini? Makna penting dari mukjizat yang diperbuat Tuhan Yesus ini lebih besar dari yang sebelumnya karena tidak ada mukjizat yang lebih menakjubkan daripada membangkitkan orang yang sudah mati dari kubur. Tuhan Yesus melakukan hal seperti ini adalah hal yang teramat penting pada zaman itu. Karena Tuhan telah menjadi daging, orang-orang hanya dapat melihat penampilan fisik-Nya, sisi praktis-Nya, dan sisi kurang berarti dari diri-Nya. Bahkan seandainya ada beberapa orang yang melihat dan memahami sebagian karakter-Nya atau sejumlah kelebihan yang nampaknya Ia miliki, tidak seorang pun tahu dari mana Tuhan Yesus datang, apa esensi-Nya yang sebenarnya, dan apa lagi yang sebenarnya mampu Ia lakukan. Semuanya ini tidak diketahui oleh umat manusia. Begitu banyak orang menginginkan bukti akan hal ini, dan mengetahui kebenaran. Dapatkah Tuhan melakukan sesuatu untuk membuktikan identitas-Nya sendiri? Bagi Tuhan, ini adalah hal yang mudah—ini adalah perkara sepele. Ia dapat melakukan suatu perkara di mana saja, kapan saja untuk membuktikan identitas dan esensi-Nya, tetapi Tuhan melakukan berbagai hal berdasarkan suatu rencana, dan secara bertahap. Ia tidak melakukan suatu hal dengan sembarangan; Ia mencari waktu yang tepat, dan peluang yang tepat untuk melakukan hal yang paling berarti untuk disaksikan umat manusia. Ini membuktikan otoritas dan identitas-Nya. Jadi, dapatkah kebangkitan Lazarus membuktikan identitas Tuhan Yesus? Mari kita melihat perikop dari Kitab Suci ini: “Dan ketika Dia sudah berkata demikian, Dia berseru dengan suara keras: “Lazarus, keluarlah!” Maka orang yang sudah mati itu datang keluar.” Ketika Tuhan Yesus melakukan ini, Ia hanya mengatakan satu hal: “Lazarus, keluarlah.” Lazarus lalu keluar dari kuburannya—ini tercapai oleh karena satu kalimat yang diucapkan oleh Tuhan. Pada waktu itu, Tuhan Yesus tidak mendirikan sebuah mezbah, dan Ia tidak mengambil tindakan-tindakan lain. Ia hanya mengucapkan satu kalimat. Apakah ini seharusnya disebut mukjizat atau perintah? Atau apakah ini semacam sihir? Dari luar, nampaknya ini dapat dikatakan sebuah mukjizat, dan apabila engkau semua melihatnya dari sudut pandang modern, tentu saja engkau semua tetap dapat menyebutnya sebuah mukjizat. Akan tetapi, tentu saja ini tidak dapat dikatakan sebuah mantra untuk memanggil jiwa seseorang kembali dari kematian, dan tentu saja ini bukan sihir. Adalah benar untuk mengatakan bahwa mukjizat ini adalah peragaan yang paling normal, paling kecil dari otoritas Sang Pencipta. Ini adalah otoritas dan kemampuan Tuhan. Tuhan punya otoritas untuk membuat seseorang mati, untuk membuat jiwa pergi meninggalkan tubuhnya dan kembali ke alam maut, atau ke mana pun jiwa orang mati itu harus pergi. Kapan seseorang mati, dan ke mana mereka pergi setelah mati—hal-hal ini ditentukan oleh Tuhan. Ia dapat melakukan ini kapan pun dan di mana pun. Ia tidak dibatasi oleh manusia, peristiwa, benda, ruang, atau tempat. Apabila Ia ingin melakukan sesuatu Ia dapat melakukannya, karena segala hal dan semua makhluk hidup berada di bawah kekuasaan-Nya, dan segala sesuatu hidup dan mati oleh firman-Nya, otoritas-Nya. Ia dapat membangkitkan orang mati—ini juga adalah hal yang dapat Ia lakukan kapan pun, di mana pun. Ini adalah otoritas yang hanya dimiliki Sang Pencipta.
Ketika Tuhan Yesus melakukan suatu hal seperti membangkitkan Lazarus dari kematian, tujuan-Nya adalah memberikan bukti untuk disaksikan manusia dan Iblis, dan membiarkan baik manusia maupun Iblis mengetahui bahwa segala hal yang berkaitan dengan umat manusia, hidup dan mati manusia ditentukan oleh Tuhan, dan bahwa meskipun Ia telah menjadi daging, seperti senantiasa, Ia tetap memiliki kendali atas dunia jasmani yang dapat dilihat dan juga dunia rohani yang tidak dapat dilihat manusia. Ini untuk memberitahukan baik kepada manusia maupun Iblis bahwa segala hal yang berkaitan dengan manusia tidak berada di bawah perintah Iblis. Ini adalah pengungkapan dan peragaan otoritas Tuhan, dan juga cara Tuhan mengirimkan pesan kepada segala hal bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan. Kebangkitan Lazarus oleh Tuhan Yesus—pendekatan semacam ini adalah salah satu cara Sang Pencipta mengajarkan dan memberi petunjuk kepada umat manusia. Ini adalah tindakan konkret di mana Ia menggunakan kemampuan dan otoritas-Nya untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, dan membekali manusia. Ini adalah cara bagi Sang Pencipta untuk tanpa menggunakan kata-kata memungkinkan manusia melihat kebenaran bahwa Ia memiliki kuasa segala hal. Ini adalah cara bagi-Nya untuk memberitahu umat manusia melalui tindakan nyata bahwa tidak ada keselamatan jika tidak melalui Dia. Cara memberi petunjuk kepada manusia tanpa kata-kata seperti ini berlangsung kekal—ini hal yang tak akan terhapuskan, dan ini membawa rasa terkejut dan pencerahan di dalam hati umat manusia yang tidak akan sirna. Kebangkitan Lazarus memuliakan Tuhan—ini memiliki dampak yang dalam pada setiap pengikut Tuhan. Dalam diri setiap orang yang benar-benar mengerti peristiwa ini, kebangkitan ini meninggalkan pemahaman, visi bahwa hanya Tuhan yang punya kuasa atas hidup dan mati manusia. Meskipun Tuhan punya otoritas semacam ini, dan meskipun Ia mengirimkan pesan tentang kedaulatan-Nya atas hidup dan mati manusia melalui kebangkitan Lazarus, ini bukanlah pekerjaan utama-Nya. Tuhan tidak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud tertentu. Setiap hal yang Ia kerjakan bernilai besar; semuanya adalah harta karun yang tak lekang oleh waktu. Ia tentu saja tidak akan menjadikan perbuatan membangkitkan seseorang dari kuburnya sebagai yang utama atau satu-satunya tujuan atau hal dalam pekerjaan-Nya. Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa maksud. Satu saja peristiwa kebangkitan Lazarus sudah cukup untuk menunjukkan otoritas Tuhan. Itu cukup untuk membuktikan identitas Tuhan Yesus. Inilah sebabnya mengapa Tuhan Yesus tidak mengulangi mukjizat seperti ini. Tuhan melakukan berbagai hal berdasarkan prinsip-Nya sendiri. Dalam bahasa manusia, Tuhan sangat perhatian akan pekerjaan yang serius. Dengan kata lain, ketika Tuhan melakukan sesuatu Ia tidak melenceng dari tujuan pekerjaan-Nya. Ia tahu pekerjaan seperti apa yang ingin Ia lakukan pada tahap ini, apa yang ingin Ia capai, dan Ia akan bekerja dengan tegas berdasarkan rencana-Nya. Seandainya seseorang yang rusak memiliki kemampuan seperti ini, ia hanya akan memikirkan cara untuk mengungkapkan kemampuan ini kepada orang lain agar mereka tahu seberapa hebatnya dirinya, agar orang lain tunduk kepadanya, sehingga ia dapat mengendalikan dan menguasai mereka. Inilah kejahatan yang berasal dari Iblis—inilah yang disebut pengrusakan. Tuhan tidak memiliki watak demikian, dan Ia tidak memiliki esensi demikian. Tujuan-Nya dalam melakukan berbagai hal bukanlah untuk memamerkan diri-Nya, melainkan untuk membekali umat manusia dengan lebih banyak wahyu dan tuntunan; jadi orang-orang melihat sedikit sekali contoh dalam Alkitab mengenai hal semacam ini. Ini tidak berarti bahwa kemampuan Tuhan Yesus terbatas, atau bahwa Ia tidak dapat melakukan hal semacam itu. Hanya saja Tuhan tidak ingin melakukannya, karena ada makna yang praktis ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus, dan juga karena pekerjaan utama Tuhan dalam menjadi daging bukanlah untuk melakukan mukjizat, bukan untuk membangkitkan orang-orang mati, melainkan pekerjaan penyelamatan umat manusia. Jadi, sebagian besar pekerjaan yang diselesaikan Tuhan Yesus adalah mengajari orang-orang, membekali mereka, dan menolong mereka, dan hal-hal seperti membangkitkan Lazarus hanyalah sebagian kecil saja dari pelayanan yang dilakukan Tuhan Yesus. Bahkan, engkau semua dapat mengatakan bahwa “pamer” bukanlah bagian dari esensi Tuhan, jadi tidak menunjukkan lebih banyak mukjizat bukanlah suatu pembatasan diri secara sengaja, juga bukan karena keterbatasan lingkungan, dan tentunya juga bukan karena kurangnya kemampuan.
Ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian, Ia menggunakan satu kalimat: “Lazarus, keluarlah!” Ia tidak mengatakan apa pun lagi selain ini—apakah yang direpresentasikan kata-kata tersebut? Kata-kata ini merepresentasikan bahwa Tuhan mampu melakukan apa saja hanya dengan berfirman, termasuk membangkitkan orang mati. Ketika Tuhan menciptakan segala sesuatu, ketika Ia menciptakan dunia, Ia melakukannya dengan firman. Ia menggunakan perintah lisan, firman yang berotoritas, dan dengan demikian segala sesuatu pun tercipta. Semua itu tercapai dengan cara demikian. Satu kalimat yang diucapkan oleh Tuhan Yesus adalah sama seperti firman yang diucapkan Tuhan ketika Ia menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu; kalimat tersebut sama-sama mengandung otoritas Tuhan, kemampuan Sang Pencipta. Segala sesuatu terbentuk dan berdiri teguh oleh karena firman yang keluar dari mulut Tuhan, dan sama seperti itu, Lazarus berjalan keluar dari kuburnya oleh karena firman yang keluar dari mulut Tuhan Yesus. Inilah otoritas Tuhan, yang ditunjukkan dan dinyatakan dalam daging inkarnasi-Nya. Otoritas dan kemampuan semacam ini adalah milik Sang Pencipta, dan milik Anak Manusia di mana Sang Pencipta dinyatakan. Inilah pengertian yang diajarkan Tuhan melalui kebangkitan Lazarus dari kematian. Inilah semua bahasan untuk topik ini. Selanjutnya, mari kita membaca Kitab Suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar