Oleh Lizhi, Korea
“Lizhi, sesuatu yang buruk telah terjadi. Ketika Xiaodong sedang bekerja di lokasi pembangunan, satu ton batang baja jatuh dari ketinggian dan menimpanya. Dia kehilangan banyak darah dan hidupnya berada di ujung tanduk. Dia telah dibawa ke rumah sakit, jadi sebaiknya kamu bergegas.”
Aku sedang bekerja ketika menjawab panggilan dari rekan kerja adik laki-lakiku. Tanpa sempat berpikir, aku buru-buru naik taksi dan bergegas ke rumah sakit. Ketika berada di dalam taksi, jantungku berdetak kencang, dan terus berpikir: Bagaimana cedera adikku? Mungkinkah dia mati? Semakin aku memikirkannya, semakin aku menjadi takut. Saat itu, firman Tuhan terlintas di benakku: “Jangan takut, Tuhan Semesta Alam Yang Mahakuasa pasti akan bersamamu; Dia menolongmu dan Dia adalah perisaimu.” Firman Tuhan memungkinkan aku untuk memahami dan berpikir: Ya, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Dia adalah penopang setia kami. Tuhan bersama kami dan aku tidak perlu takut. Apa pun yang terjadi, aku harus mengandalkan Tuhan. Kemudian aku buru-buru berdoa kepada Tuhan dalam hati: “Ya Tuhan! Adikku tiba-tiba menemui bencana dan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya. Ya Tuhan! Tolong selamatkan dia!” Aku terus berseru kepada Tuhan dan, dalam kepedihan dan sengsaraku, taksi tiba di rumah sakit.
Aku bergegas masuk, dan suamiku mengatakan bahwa luka adikku sangat parah, sehingga dia memerlukan operasi besar, dan dia sudah berada di ruang operasi selama dua jam. Seketika jantungku serasa menyumbat tenggorokanku, dan ketakutan serta kekhawatiran meliputi pikiranku: Ayah kami hanya memiliki satu putra ini. Jika sesuatu terjadi padanya, apakah ayah kami dapat mengatasinya di usianya sekarang? Jika adikku melihat dirinya kehilangan lengan atau kakinya, apakah ia akan kehilangan keberanian untuk terus hidup? Dan bagaimana aku harus menghadapinya bila saatnya tiba? Tepat saat itu suamiku membawa pakaian adikku, dan aku melihat semua sepatu dan celananya compang-camping berlumuran darah, dan terlihat beberapa potongan daging yang masih menempel. Hatiku serasa seperti ditikam pisau. Rasanya pedih sekali sampai-sampai aku tidak bisa bernapas dan kakiku tidak bisa menahanku. Jika suamiku tidak berada di sebelahku untuk menopangku, aku akan pingsan dan roboh ke lantai. Aku hanya tidak bisa membayangkan gambaran ketika adikku cedera. Aku memikirkan bagaimana aku telah melihat keadaannya baik-baik saja sehari sebelumnya, dan sekarang hidupnya berada di ujung tanduk, dan aku tidak dapat menahan diriku terisak-isak dengan keras. Seraya menangis, aku berdoa kepada Tuhan dan berkata: “Ya Tuhan! Tolong selamatkan hidup adikku! Selama dia terus bernapas, tidak apa-apa meskipun dia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Ya Tuhan! Aku merasakan kepedihan di hatiku sekarang dan aku tidak tahu bagaimana melewati ini.”
Waktu merayap detik demi detik, menit demi menit, dan pintu ke ruang operasi tidak terbuka. Aku tentu merasa cemas dan berpikir: Sudah lama sekali—bagaimana mungkin dia belum keluar? Apakah ada yang tidak beres? Aku memikirkan senyum ceria adikku, lalu melihat pakaian yang berlumuran darah, dan aku tidak bisa menahan diriku menangis tersedu-sedu. Suamiku menghampiri dan terus berusaha menghiburku, tetapi kata-katanya tidak berpengaruh padaku saat itu. Tepat ketika aku merasa lemah, seorang saudari dari gereja mendengar berita bahwa adikku mengalami kecelakaan, dan dia mengirimiku satu bagian dari firman Tuhan menggunakan ponselnya: “Iman adalah seperti jembatan satu kayu gelondong kayu, mereka yang hidup secara tercela akan mengalami kesulitan menyeberanginya, namun mereka yang siap untuk berkorban dapat menyeberanginya tanpa perlu merasa khawatir. Jika manusia memiliki pikiran yang kerdil dan penakut, mereka sedang diperdayai Iblis. Iblis takut jika kita akan menyeberangi jembatan iman untuk masuk ke dalam Tuhan. Iblis merancangkan segala cara yang mungkin untuk merasuki kita dengan pikiran-pikirannya, kita harus senantiasa berdoa agar terang Tuhan akan bercahaya atas kita, dan kita harus senantiasa bergantung pada Tuhan untuk menyucikan kita dari racun Iblis. Kita harus senantiasa melatih roh kita untuk mendekat kepada Tuhan. Kita akan membiarkan Tuhan berkuasa atas seluruh keberadaan kita.” Firman Tuhan membuat hatiku yang panik dan tak berdaya menjadi tenang. Aku melihat bahwa ketakutan dan kekhawatiranku terus-menerus adalah ide-ide yang Iblis tanamkan ke dalam benakku, dan itu menunjukkan bahwa aku tidak memiliki iman yang benar kepada Tuhan. Hidup kami sesungguhnya digenggam oleh tangan Tuhan, dan Tuhan telah menetapkan sejak semula dan menentukan waktu kapan kita akan dilahirkan dan saatnya kita akan mati. Dia memiliki keputusan akhir, dan aku tahu bahwa aku harus memiliki iman kepada Tuhan. Aku memikirkan Ayub ketika dia menjalani cobaan; dia kehilangan seluruh kekayaannya dan anak-anaknya, tetapi dia tidak pernah bersungut-sungut atau menyalahkan Tuhan, dan ini karena dia memiliki iman yang benar kepada Tuhan. Meskipun aku sama sekali tidak sehebat Ayub, bagaimanapun juga aku ingin meneladaninya. Apakah adikku akan mati atau lumpuh, aku tahu aku harus tunduk pada kedaulatan dan ketetapan Tuhan tanpa bersungut-sungut, apalagi mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal atas Tuhan. Selain itu, aku tahu aku harus berdoa kepada Tuhan setiap saat dan percaya bahwa Tuhan akan membimbingku. Maka, aku berdoa kepada Tuhan: “Ya Tuhan! Apakah adikku akan melalui ini dengan aman atau tidak, semua itu ada dalam tangan-Mu. Aku memohon agar Engkau memberiku iman dan kekuatan, supaya aku dapat dengan tenang menghadapi apa pun hasil akhirnya.” Ketika aku merenungkan firman Tuhan berulang kali, kepedihan di hatiku sedikit berkurang.
10 jam kemudian, pintu menuju ruang operasi akhirnya terbuka. Jantungku berdegap kencang dan aku bergegas mendekat. Dokter berbicara kepada kami, katanya, “Adikmu sangat beruntung. Ketika dia pertama kali masuk, kami tidak yakin untuk melakukan operasi ini. Kakinya mengalami patah tulang, daging dan darahnya bercampur dengan banyak endapan. Semua pembuluh darah rusak, dan luka-lukanya terinfeksi. Necrosis telah memasuki sebagian besar jaringan ototnya dan, karena penundaan yang lama dan dia telah kehilangan begitu banyak darah, dia sangat beruntung karena kami dapat membuatnya tetap bertahan hidup.” Mendengar dokter mengatakan ini dan mengetahui bahwa adikku luput dari bahaya, aku merasa senang dan terus mengucap syukur kepada Tuhan.
Beberapa saat kemudian, dokter menyuruh kami pergi menemui adikku di ICU. Begitu aku masuk, aku melihat adikku berbaring di tempat tidur dalam keadaan koma dengan selang dimasukkan ke mulut dan hidungnya. Dia dibalut perban kasa seluruhnya; satu kaki bertumpu pada pelat baja dan kakinya bengkak seperti kaki beruang. Setelah diamati lebih dekat, aku melihat bahwa tidak satu pun bagian tubuhnya yang tidak cedera, dan aku tidak tahan untuk melihatnya lagi. Sambil menangis, aku berjalan di samping tempat tidur dan memegang tangannya. Dengan suara lembut, aku berbicara di telinganya. “Xiaodong, ini kakakmu. Bisakah kamu mendengarku? Kamu selamat karena perlindungan Tuhan. Jangan takut. Kamu harus percaya kepada Tuhan dan kamu pasti akan membaik.” Saat itu, adikku secara ajaib membuka matanya yang bengkak dan, sambil menangis, dengan pelan ia menganggukkan kepalanya. Aku merasakan sensasi yang tidak dapat diungkapkan, dan aku berpikir: Jika adikku dapat menerima keselamatan Tuhan karena apa yang terjadi padanya, ini benar-benar akan menjadi berkat terselubung! Aku memegang erat tangannya, menunjukkan kepadanya agar tetap gigih, dan sekali lagi aku menaikkan puji dan syukur kepada Tuhan dalam hatiku: “Ya Tuhan! Aku mengucap syukur kepada-Mu. Adikku hidup oleh rahmat-Mu. Apabila dia membaik, aku akan memberitakan Injil kepadanya dan menjadi saksi tentang kasih karunia keselamatan-Mu!”
Setelah operasi, adikku cepat pulih dari cederanya dan, seminggu kemudian, ia dipindahkan ke bangsal biasa. Selama masa ini, aku memberitakan Injil kepadanya dengan seorang saudari dari gereja. Suatu kali, adikku berkata dengan perasaan mendalam: “Ketika peristiwa itu terjadi, jika bukan karena papan kayu tebal yang melindungi kakiku, satu ton balok baja yang jatuh dari ketinggian pasti akan merenggut nyawaku. Itu perlindungan Tuhan yang luar biasa! Setelah mengalami kecelakaan ini, akhirnya aku menghargai bahwa hidup dan matiku ada di tangan Tuhan, dan bahwa Tuhan memang berada di sampingku!” Mendengar adikku mengatakan ini, kami semua terus menaikkan puji dan syukur kepada Tuhan. Setelah beberapa hari membaca firman Tuhan, adikku juga menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman dan sering mendengarkan pembacaan firman Tuhan dan menonton video lagu dan tarian di bangsal rumah sakitnya. Semangatnya terus meningkat, dan ucapannya semakin keras. Dokter dan pasien lain di bangsal berkata kepadanya dengan takjub, “Kamu tidak akan mengira kalau kamu telah melalui operasi besar! Ramuan ajaib apa yang diberikan kakakmu sehingga membuatmu pulih begitu cepat?” Setiap kali dia mendengar seseorang mengatakan sesuatu seperti ini, dia akan bersaksi kepada mereka tentang bagaimana Tuhan menyelamatkannya dengan keselamatan-Nya yang menakjubkan.
Sebulan kemudian, melihat kesehatan adikku pulih dengan baik, dokter bersiap melakukan operasi untuk menjahit pembuluh darah yang rusak di kakinya. Tanpa diduga, setelah dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dia berkata padaku tanpa daya: “Aku khawatir kalau kaki adikmu harus diamputasi. Karena lukanya sangat parah, otot-otot mencuat keluar dari kakinya yang menyebabkan keadaan nekrosis ke sebagian besar jaringan otot. Jika kami tidak mengamputasi, hidupnya bisa dalam bahaya.” Ketika dokter mengatakan ini, pikiranku benar-benar hampa dan tidak dapat menerima kenyataan bahwa kaki adikku perlu diamputasi. Jika adikku menjadi cacat, bagaimana dia akan menjalani sisa hidupnya? Tetapi jika kakinya tidak diamputasi, ada kemungkinan dia bisa mati; bagaimana aku bisa mengatakan ini kepadanya? Apakah dia bisa menerimanya? Ketika aku sedang bingung, firman Tuhan muncul di benakku: ” Hati dan jiwa manusia berada dalam genggaman Tuhan, dan seluruh kehidupannya berada dalam pengamatan mata Tuhan. Entah engkau memercayainya atau tidak, setiap dan segala hal, baik yang hidup maupun mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Demikianlah cara Tuhan memerintah atas segala sesuatu.” Firman Tuhan membuat aku memahami bahwa Tuhan memegang kedaulatan atas segala sesuatu, bahwa masa depan dan nasib adikku diatur dan ditetapkan oleh Tuhan, dan bahwa kekhawatiranku itu tidak perlu. Sebelumnya, ketika kehidupan adikku berada di ujung tanduk, aku telah menyaksikan kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan. Kali ini, aku harus lebih memercayakan segalanya kepada Tuhan dan, tidak peduli apa hasil operasi itu, entah kaki adikku akan diamputasi atau tidak, kami tidak akan menyalahkan Tuhan.
Kemudian aku mengumpulkan keberanian dan memberi tahu adikku tentang apa yang akan terjadi. Saat itu, aku masih khawatir kalau berita ini tidak akan masuk ke dalam hatinya. Namun, tanpa diduga, dia terdiam beberapa saat, dan kemudian berkata dengan tenang: “Ini sungguh keajaiban karena aku masih hidup. Aku tidak mengajukan tuntutan yang muluk-muluk tetapi berharap untuk tunduk pada kedaulatan dan ketetapan Tuhan.” Adikku dan aku kemudian mengucapkan doa ketaatan kepada Tuhan, dan bersedia menghadapi operasi amputasi dengan tenang.
Tiga hari kemudian, dokter bersiap untuk mengoperasi adikku. Sebelum operasi dimulai, dokter berkata: “Setelah observasi, kami telah melakukan diskusi akhir dan, mengingat situasi saudaramu, kami ingin mencoba pendekatan baru. Kami belum pernah mencoba pendekatan ini sebelumnya dan ingin mengujinya pada adikmu untuk melihat apakah kami dapat menyelamatkan kakinya. Namun, kami tidak dapat menjamin hasil akhirnya.” Kata-kata dokter itu memberiku secercah harapan. Setidaknya masih ada kemungkinan bahwa adikku akan bisa mempertahankan kakinya, jadi aku memberi izin. Setelah operasi selesai, dokter berkata dengan gembira: “Adikmu sangat beruntung! Operasi untuk menjahit pembuluh darah itu sukses, dan ini menandakan ada harapan besar dia akan bisa mempertahankan kakinya.” Mendengar berita ini, aku merasa sangat gembira, dan aku terus menaikkan syukur kepada Tuhan. Ini benar-benar sama seperti firman Tuhan: “Setiap dan segala hal, baik yang hidup maupun mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Demikianlah cara Tuhan memerintah atas segala sesuatu.” Sekali lagi aku menyaksikan perbuatan Tuhan.
Setelah itu, adikku menjalani dua operasi besar lagi dan menghadapi banyak kendala. Meskipun kami masih khawatir dan cemas, namun aku dan adikku dapat mengandalkan Tuhan bersama-sama dan, dengan pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, setiap operasi berjalan dengan lancar. Setelah tiga operasi ini, kaki adikku akhirnya diselamatkan. Tiga bulan setelah operasi terakhir, adikku dapat menggunakan kursi roda; lima bulan setelah itu, dia bisa berjalan. Dokter yang merawat melihat adikku pulih begitu cepat dan merasa kagum. Biasanya membutuhkan waktu lama untuk patah tulang, tetapi adikku yang berjalan lagi hanya setelah lima bulan sejak dirawat di rumah sakit, kata mereka, adalah sesuatu yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya di rumah sakit mereka. Tetapi dalam hati aku tahu bahwa ini adalah perbuatan Tuhan.
Setelah mengalami kecelakaan adikku, aku benar-benar merasa bahwa Tuhan ada di sisiku. Ketika aku merasa cemas dan takut saat dihadapkan dengan kondisi adikku, firman Tuhanlah yang memberiku iman dan kekuatan dan memungkinkan aku untuk berdiri teguh. Ketika aku mengandalkan Tuhan dan memandang Tuhan dengan keinginan untuk menaati Dia, aku menyaksikan perbuatan-Nya yang menakjubkan dan imanku kepada Tuhan meningkat. Di jalan kepercayaanku kepada Tuhan, pengalaman ini telah menjadi harta berharga. Dalam kehidupanku di masa yang akan datang, entah hal-hal baik atau buruk yang terjadi, aku berharap selalu mengandalkan Tuhan untuk menghadapinya. Dengan Tuhan berada di sampingku, apa yang perlu ditakutkana? Terima kasih, Tuhan! Segala Kemuliaan bagi Tuhan!
Sumber Artikel dari "Belajar Alkitab"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar